Oleh Umar Abdullah
Siti
gembira sekali karena hari itu dia dinyatakan lulus Tahfizh 30 juz
al-Qur`an sekaligus tafsirnya. Ibunya, Gede Syukure, juga sangat
bergembira. Mereka bersujud syukur lama sekali. Ibunya kemudian
mengadakan syukuran yang sangat sederhana. Maklum mereka keluarga fakir.
Ayah Siti, Pak Jihad Tekade, gugur dalam pengusiran perusahaan
penambang emas dari Amerika di Kaligetih ketika Siti masih berumur dua
tahun. Bu Gede belum menikah lagi. Biaya hidup dirinya kemudian
ditanggung oleh adik Bu Gede yang tinggal Kalibening, kota tetangga.
Untuk makan dan pakaian masih cukup walau sangat sederhana. Tapi untuk
kontrakan rumah tiap bulan, nafkah dari adik Bu Gede tidak cukup, kadang
malah terlambat beberapa bulan. Beruntung pemilik kontrakan, Bu Apik
Uwonge, orangnya mengerti keadaan Bu Gede. Sering sewa kontrakan yang
tidak bisa dibayar Bu Gede dia jadikan sedekah untuk Bu Gede. Beruntung
juga Bu Gede dan Siti jarang sakit, sehingga mereka jarang keluar duit
untuk biaya kesehatan.
Tapi Siti perlu pendidikan. Dulu ketika Siti usia satu setengah
tahun, ayahnya membelikan sebuah Mushhaf al-Qur`an, buku Ilmu Tajwid, CD
MP3 Murattal al-Qur`an, dan Satu Set Tafsir al-Qur`anul ’Azhim karya
Ibnu Katsir. Waktu itu keluarga Siti masih berkecukupan. Ayahnya dulu
seorang pedagang buah. Sebelum berangkat mengusir perusahaan Amerika,
ayahnya berpesan kepada ibunya agar kitab-kitab tersebut diberikan ke
Siti, sedang CD Murattalnya agar diperdengarkan ke Siti tiap hari. Walau
dia sendiri tidak lancar membaca al-Qur`an, tapi ayah Siti ingin sekali
anaknya mengerti isi al-Qur`an, syukur-syukur jika bisa menjadi
penghafal dan ahli tafsirnya. Beberapa bulan setelah itu, ayah Siti
syahid saat mengusir kumpeni asal Amerika itu.
Untuk memenuhi cita-cita ayahnya, Bu Apik menyarankan Bu Gede agar
Siti belajar al-Qur`an di Pesantren Cinta al-Qur`an PCA saja. Letaknya
di Jembar Uripe, kampung sebelah. Disamping guru-gurunya penuh dedikasi,
di PCA tidak perlu bayar biaya pendidikan. Untuk keperluan hidup,
santri-santrinya membawa bahan-bahan dari rumah dan kebun mereka
masing-masing tergantung apa yang mereka punya. Yang punya sawah bawa
beras. Yang rumahnya di pinggir sungai bawa kangkung air. Yang ternak
ayam dan bebek membawa telur. Dan Siti membawa kelinci. Siti dan ibunya
beternak kelinci. Mereka mengambil sisa-sisa sayur di pasar kecamatan
dekat rumahnya untuk makanan kelincinya. Tiap Jumat pagi Siti membawa
lima kelinci hidup peliharaannya untuk dipotong dan disate. Ba’da Shalat
Jumat sate kelinci disantap ramai-ramai para santri.
Dan itu sudah berlangsung selama enam tahun sejak Siti masuk ke
Pesantren pada usia tujuh tahun. Sejak ayahnya syahid setiap hari Siti
yang masih batita dua tahun itu mendengarkan al-Qur`an melalui CD MP3
Murattal pemberian ayahnya. Sambil bermain boneka buatan ibunya, Siti
mendengarkan setiap surat berulang-ulang minimal sembilan kali. Tanpa
sadar Siti kecil hafal apa yang didengarkannya walau pelafalannya masih
ada yang kurang tepat. Empat tahun hal itu berlangsung setiap hari dan
sudah ratusan kali gelombang audio 114 surat al-Qur`an masuk ke dalam
telinga Siti kecil dan terekam kuat di otaknya. Siti pun sudah hafal 30
Juz al-Qur`an walau belum pernah membaca mushhafnya sekali pun. Ketika
umur tujuh tahun ibunya memberikan mushhaf al-Quran pemberian ayah Siti
dan memasukkan Siti ke PSA dengan harapan hafalan Siti ditepatkan.
Mulailah Siti belajar membaca mushhaf al-Qur`an dengan tajwid yang
benar. Menginajak usia sembilan tahun Siti mulai belajar Tafsir
al-Qur`an. Satu set kitab Tafsir pemberian ayahnya sangat membantunya
memahami isi al-Qur`an.
Kini Siti sudah menjadi remaja tiga belas tahun. Dia dinyatakan lulus
oleh Guru Tajwid, Guru Tahfizh, dan Guru Tafsir di PCA dan diberi
ijazah (ijab sah) boleh mengajarkan ketiga ilmu tadi. Dan lima kelinci
kembali jadi santapan utama syukuran kelulusannya.
* **
Ibu-ibu sudah berkumpul, termasuk Bu Apik sang pemilik kontrakan.
Bocah-bocah dibawa serta ibu mereka agar ikut mendengarkan kisah sukses
Sang Penghafal al-Qur`an dari kampung Kaliadem tersebut.
Bu Gede mulai bercerita tentang wasiat berharga dari suaminya hingga
menitipkan Siti belajar al-Qur`an di PCA. Siti pun melanjutkan dengan
kisah-kisah kesulitan dan kemudahan yang ia alami selama belajar
al-Qur`an. Dirinya juga menyampaikan terima kasih dan memanjatkan doa
tulus kepada Allah untuk ibunya tercinta dan PCA yang telah mendidiknya.
Sampai pada suatu pertanyaan yang membuatnya terdiam. Pertanyaan yang
selama ini ia pendam dan tidak berani ia tanyakan ke para gurunya karena
sungkan, yaitu siapa yang membangun PCA dan siapa yang memberi honor
untuk para guru di PCA.
Bu Apik yang termasuk sesepuh di Kampung Kaliadem pun akhirnya angkat
bicara. Dia menceritakan bahwa yang membangun PCA adalah Haji Kroso
Mampangate. Haji Kroso pula yang memberi honor kepada para guru di PCA.
Para ibu yang sudah tua serempak mengangguk-anggukkan kepalanya tanda
menyetujui. Sedang para ibu yang masih muda terlihat ingin tahu karena
mereka juga baru pertama kali mendengar nama Haji Kroso Mampangate.
Bu Apik melanjutkan ceritanya bahwa lima belas tahun yang lalu tiga
bulan sebelum Pak Kroso berangkat haji, ia mendengarkan kisah Waqaf Umar
bin Khaththab dari seorang ulama saat dia ikut pengajian di Masjid
Agung. Ulama yang bernama Ustadz Nyoto Ngelmune tersebut menceritakan
bagaimana tanah Umar di Khaibar diwaqafkan, ditahan pokok tanahnya dan
disedekahkan manfaatnya untuk faqir miskin, anak yatim, kerabat, para
tamu, teman-teman yang tidak kaya, jihad fi sabilillah, dan yang
mengurus tanah Umar di Khaibar. Ustadz Nyoto menambahkan bahwa waqaflah
yang dimaksud dengan shadaqah jariyah, sedekah yang pahalanya terus
mengalir untuk pemiliknya walau pemiliknya meninggal dunia. Pahalanya
bisa mengalir bertahun-tahun bahkan bisa beratus tahun selama dari benda
yang diwaqafkan tersebut tetap bisa dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Wejangan itulah yang mendorong Pak Kroso segera mendirikan
sebuah bangunan di kampung sebelah. Kita semua tidak tahu untuk apa Pak
Kroso yang mau berangkat haji itu membuat bangunan yang mirip pesantren,
ada ruang belajarnya, ada pondokan untuk santri dan gurunya. Kami hanya
bisa menduga-duga. Karena setiap kali ditanya, Pak Kroso hanya bilang
buat simpanannya. Sebenarnya kami kaget, karena kami yakin Pak Kroso
tidak akan punya istri yang disimpan-simpan. Pak Kroso sudah punya istri
tiga orang. Semuanya diberi rumah sendiri-sendiri. Pak Kroso juga punya
rumah lain lagi yang dijadikannya sebagai kantor perkebunannya.
Bu Apik tambah bersemangat bercerita. ”Kami baru tahu dua hari
menjelang keberangkatan Pak Kroso naik haji. Dia mengumumkan bahwa dia
mendirikan bangunan mirip pesantren itu memang untuk dijadikan Pesantren
Cinta Al-Qur`an yang ia jadikan waqaf buat simpanan pahala sedekah
dirinya, baik ketika ia masih hidup maupun ketika ia nanti meninggal
dunia. Jadi bukan untuk istri simpanan,” kisah Bu Apik. Terlihat
nenek-nenek yang ikut hadir terkekeh-kekeh. ”Dan untuk membiayai
guru-guru dan sarana pesantren, Pak Kroso mewaqafkan kebun cengkeh dan
kebun jahenya yang di Kaliputih. Manfaat waqaf itulah yang kita rasakan
sampai sekarang,” Jelas pemilik kontrakan dua puluh pintu itu.
Tak terasa air mata Siti berlinang. Begitu pula para ibu dan
anak-anak yang mulai mengerti pembicaraan. Tanpa sadar Siti menanyakan
dimana keberadaan Pak Kroso sekarang karena ia belum pernah sekali pun
bertemu. Bu Apik menyampaikan bahwa Pak Kroso sudah meninggal lima tahun
setelah didirikan pesantren tersebut. Para hadirin yang masih muda
terperanjat, dan segera terucap untaian doa untuk Pak Kroso. Dan paling
lama memanjatkan doa adalah Siti.